Hidup Nomaden, Pindah Negara 3 Kali dalam Setahun (1/3)

Selama kurun waktu Maret 2022 hingga Maret 2023, saya berpindah tempat kerja dua kali ke tiga negara. Dimulai dengan bekerja di Jepang, Prancis, lalu Belanda. Kehidupan seorang imigran bagi saya jauh dari kata mudah, terlebih jika harus berganti residency dalam kurun waktu yang singkat. Tulisan ini dibuat untuk menjadi memori bahwa saya pernah melalui hal ini.

Jepang – Japan – 日本

Saya mendaftar di sebuah startup drone di Tokyo sebagai mahasiswa magang tingkat akhir kuliah. Idealnya, saya akan mulai bekerja di Jepang pada awal April 2020, tetapi pandemi membuat perusahaan menunda segala proses perekrutan. Hingga pada September 2020, mereka memutuskan untuk berkesperimen dengan memulai magang jarak jauh. Hasilnya cukup baik, Februari 2021, saya ditawari kontrak untuk menjadi full-time engineer.

We will wait for you to come here”, kata CTO perusahaan tersebut.

Kedatangan

Maret 2022, setelah menutup total perbatasannya untuk imigran selama 2 tahun, Jepang akhirnya membolehkan kelompok-kelompok tertentu untuk memperoleh visa. Saya masuk ke dalam kelompok pekerja, salah satu bagian dari kelompok itu. Pembuatan visa Jepang dilakukan di konsulat yang sesuai dengan wilayah domisili pelamar, seperti yang dijelaskan di sini. Karena ber-KTP dari Sulawesi Tengah, visa saya dibuat di Kantor Konsuler Jepang di Makassar. Jika seluruh dokumen persayarat sudah lengkap, pemohon bisa membuat jadwal untuk pembuatan visa. Kemudian konsuler akan memberikan informasi jika visa sudah dapat diambil, durasi pembuatannya 5 hari kerja bagi saya.

Makanan Selama Karantina

Dengan membawa 1 tas ransel, 1 koper kabin, dan 1 koper besar, berangkatlah saya ke Jepang menumpang maskapai penerbangan Japan Airlines. Masih dalam suasana pandemi, ada proses khusus yang harus saya lalui setibanya di Bandara Narita. Sialnya, penumpang penerbangan yang tiba di sore hari harus rela antri lebih lama untuk akhirnya dibolehkan ke rumah atau hotel karantina. Dari jam 4 sore sampai jam 3 pagi, hampir 12 jam lamanya saya mengikuti protokol mereka mulai dari turun pesawat hingga masuk karantina[1]. Beruntung, hotel yang disediakan sangat layak dan seluruh makanan diberikan secara gratis dan bersertifikat halal.

Perjalanan

Lepas dari hotel karantina, saya masuk ke kamar hotel lain di daerah Edogawa di Tokyo. Kamar ini dibayarkan oleh kantor karena kamar kos yang saya pesan belum pula masuk tanggal mulai kontraknya. Jauh dari bayangan saya tentang kamar hotel, ruangan 10 meter persegi itu bagi saya lebih cocok disebut sebagai kos. Dari kamar ini, saya berangkat kerja tiap hari dengan menumpang bis kota. Di kamar ini juga, saya makan ala kadarnya, cukup dengan mie instan dan onigiri dari convenient store.

Hari pertama di bulan April, saya pindah ke kamar kos yang saya sewa melalui website online. Bayar perbulan seharga 65.000 JPY, sekitar 450 EUR, dan kamar yang saya dapatkan berukuran 7.5 meter persegi, kamar mandi pun di luar. Kecil sekali, sesak rasanya setelah meletakkan seluruh barang yang bahkan tidak seberapa jumlahnya. Untuk urusan makan, kos ini menyediakan tiga dapur (2 besar, 1 kecil) yang digunakan oleh hampir 30 orang di rumah itu. Alat dapurnya lengkap (termasuk rice cooker) sehingga tak perlu beli peralatan baru, cukup beli bumbu masak saja. Sisi baiknya, semua administrasi bisa dilakukan dalam bahasa Inggris, cocok bagi saya yang hanya mengetahui frasa Jepang melalu anime.

Dengan bis kota, cukup 15 menit untuk berangkat dari kos dan tiba di kantor. Di hari dan jam tertentu, sopir dibalik stir lebih suka ngebut sehingga cukup 11-12 menit bis sudah berhenti di halte Edogawa rinkai yūbinkyoku mae (江戸川臨海郵便局). Kerja dimulai pukul sembilan pagi, jeda makan siang selama satu jam, dan stretching kecil di tiap jam agar badan tak kaku. Kerjaan utamaku adalah membuat program (dengan C++ dan Python) untuk drone kantor, kemudian menguji kodingan itu dengan ground atau flight test jika perlu. Pukul enam sore, saatnya pulang dengan menumpang bis lagi. Begitu kiranya gambaran hidup di kantor.

Sepulang kerja, hal yang paling saya nantikan adalah makan udon di stasiun Nishikasai (西葛西), dua kali seminggu jatahnya. Di akhir pekan, kadang saya jalan mengelilingi Tokyo dan daerah sekitarnya, sendiri ataupun dengan teman-teman Indonesia. Satu idul fitri dan satu idul adha saya lalui di sana, beruntung Masjid Indonesia Tokyo (MIT) menyediakan sarana untuk merasa seakan lebaran di rumah. Untuk liburan panjang, saya mengambil cuti ke Kyoto, kota yang kental dengan budaya Jepangnya mungkin karena pernah menjadi ibu kota Jepang. Begitu kiranya gambaran hidup di luar kantor.

Keberangkatan

Sebelum berangkat ke Jepang, di Januari 2022, saya mengajak Oi untuk menikah. Oi akan melanjutkan kuliah magister di Belanda dan saya janji akan berusaha untuk menyusulnya ke sana, minimal ke Eropa. Saat mengatakan itu, belum ada tawaran kerja dari perusahaan sana. Namun, dengan bismillah, saya tekadkan untuk berusaha mencarinya. Tanggal 4 Juni, keluarga saya datang ke rumah Oi untuk melakukan lamaran. Saya di Jepang, Oi di Thailand, cukuplah keluarga yang mewakilkan niat suci kami. Kedua keluarga sepakat untuk melaksanakan pernikahan tanggal 13 Agustus 2022.

Di akhir bulan Juni 2022, saya menandatangani kontrak kerja dari perusahaan Prancis. Kawan, ini adalah salah satu doa saya yang dikabulkan Yang Maha Kuasa.

Dengan kontrak kerja itu, saya menutup bagian perjalanan singkat saya di Jepang.


[1] Makanan terakhir yang saya makan di perjalanan ke Jepang adalah sarapan. Tak ada makan siang di pesawat. Selama protokol transisi karantina pun tak diperbolehkan untuk makan di luar area kedatangan (tidak ada restoran di sana). Akhirnya, setelah keluar gerbang kedatangan, saya meminta ke petugas untuk keluar sebentar membeli makan. Tidak boleh, kata petugas. Beruntung ada seorang mas-mas, umurnya sepantaran saya, bersedia membelikan onigiri tuna mayo dan air mineral untuk pengganjal perut saat itu. Terima kasih, saya tidak tahu kapan bisa membalasnya.

Duka Untuk 1000 Korban COVID-19 di Sulawesi Tengah

Palu, 14 Agustus 2021

Tanggal 26 Maret 2020, kasus pertama COVID-19 terdeteksi di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kota Palu. Pasien tersebut merupakan pelaku perjalanan yang kemungkinan tertular saat sebelum kembali ke Palu. Lebih dari 500 hari kemudian, COVID-19 masih terdeteksi di Sulawesi Tengah bahkan dalam keadaan yang lebih berbahaya.

Hingga hari Sabtu, 14 Agustus 2021, tercatat lebih dari 1000 kasus meninggal yang diakibatkan oleh COVID-19 di Sulawesi Tengah. Ada catatan penting yang perlu kita renungkan, 614 kasus meninggal atau 60.4% dari total kasus meninggal terjadi di 1,5 bulan terakhir. Ini berarti, di Sulawesi Tengah, 1 orang meninggal akibat COVID-19 setiap 2 jam. Mungkin, kerabat kita sudah menjadi korban.

Dari 1017 kasus meninggal terkait COVID-19, angka terbesar datang dari Kabupaten Banggai sebanyak 218 kasus, disusul Kota Palu sebanyak 165 kasus. Banggai Laut, kabupaten terjauh dari Kota Palu mencatat 19 kasus meninggal akibat virus ini. Tidak ada kota atau kabupaten yang bebas dari COVID-19, penyakit ini telah mewabah ke segala penjuru hingga ke pelosok.

Lebih Mencekam dari Pulau Jawa

Pada situs Kementerian Kesehatan, terdapat tiga kategori transmisi komunitas untuk mengukur keparahan penyebaran COVID-19. Tiga kategori ini adalah Kasus Konfirmasi, Rawat Inap Rumah Sakit, dan Kematian. Perhitungan yang dilakukan Kementerian Kesehatan untuk kategori-kategori tersebut dibagi per 100 ribu penduduk per minggu. Dengan cara ini, kita dapat melihat tingkat “kepadatan” COVID-19 di masyarakat pada suatu daerah.

Sulawesi Tengah, per tanggal 11 Agustus 2021, mencatat 203,76 kasus terkonfirmasi positif per 100 ribu penduduk per minggu. Angka ini jauh lebih tinggi dari puncak kasus COVID-19 di Jawa Barat dengan 128,9, atau di Banten dengan 189,54 kasus terkonfirmasi positif per 100 ribu penduduk per minggu. Pada kategori ini, penyebaran COVID-19 di Sulawesi Tengah juga “lebih padat” dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dengan jumlah fasilitas kesehatan yang lebih sedikit dari provinsi-provinsi tersebut, tentu beban yang dihadapi puskesmas, rumah sakit, dan tenaga Kesehatan kita lebih berat. Jelas, kondisi pandemi di provinsi kita lebih mencekam dari Pulau Jawa. Kita berada dalam kondisi krisis.

Pada tanggal 13 Agustus 2021, Sulawesi Tengah berada pada 6 besar provinsi dengan kasus terkonfirmasi per 100 ribu penduduk per minggu terbanyak. Kita memuncaki klasemen di Pulau Sulawesi, menjadi daerah yang paling berbahaya di antara provinsi-provinsi lainnya.

Gambaran kondisi krisis ini jelas terlihat pada masyarakat kita. Di Banggai misalnya, dalam sehari terdapat 12 Jenazah yang “antri” untuk pemulasaran COVID-19 pada tanggal 4 Agustus 2021. Kemudian di Palu, di hari yang sama, dr. Rochmat selaku Ketua Satgas COVID-19 Kota Palu, menyampaikan bahwa 7 orang penderita COVID-19 meninggal saat isolasi mandiri di minggu itu.

Mari kita renungkan sekali lagi, kita berada dalam kondisi krisis. Kasus COVID-19 di Sulawesi Tengah jauh lebih mencekam dari Pulau Jawa.

PPKM Level IV

Efektif mulai tanggal 10 Agustus hingga 23 Agustus 2021, terdapat tiga daerah yang harus menjalani Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level IV di Sulawesi Tengah. Tiga daerah tersebut adalah Palu, Banggai, dan Poso dengan lebih dari 1000 kasus aktif COVID-19. Hal ini tentu merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi penyebaran virus ini di tengah masyarakat.

Masyarakat tidak diperbolehkan mengadakan acara yang melibatkan keramaian, termasuk pesta dan resepsi pernikahan. Kegiatan-kegiatan pada tempat umum juga dibatasi jumlah warga dan jam operasionalnya. Pun, menurut instruksi gubernur, bilamana ada keramaian pada lingkungan masyarakat, protokol kesehatan 5M harus dipatuhi.

Lain aturan dengan lapangan, beberapa kali kami menjumpai laporan mengenai keramaian yang terjadi di masyarakat. Misalnya, Wali Kota Palu menganjurkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti demi mengejar target penghargaan Adipura. Kita tahu, tidak ada kerja bakti yang tidak menimbulkan keramaian, pun tidak mungkin dilakukan secara virtual. Alih-alih berupaya menurukan penyebaran COVID-19 di masyarakat, ajakan kerja bakti ini justru membuka celah baru bagi virus ini.

Mari kita renungkan sekali lagi, kita berada dalam kondisi krisis. Sudahi acara beramai-ramai, tekan laju penyebaran COVID-19!

Lawan COVID-19!

Simpul-simpul relawan yang diinisiasi oleh warga mulai terjalin. Sebut saja Roa Jaga Roa, gerakan oleh wartawan di Kota Palu yang bertujuan untuk membantu pasien-pasien isolasi mandiri (isoman). Beberapa nama lain yang bisa kami sebutkan adalah JagaPalu, Sigi Mosijagai, dan Relawan Nagasi oleh Pemerintah Kota Palu.

Gerakan relawan ini fokus pada penanganan pasien yang telah terkonfirmasi COVID-19. Ibarat genting bocor saat hujan deras, mereka membantu pemerintah “mengeringkan” lantai untuk mencegah korban jiwa. Kawan-kawan relawan Mendedikasikan energi, waktu, dan biaya atas nama kemanusian.

Melawan COVID-19 tidak cukup dengan mengeringkan lantai yang basah tersebut. Masalah di bagian hulu harus diatasi, yaitu dengan membenahi genting yang bocor. Laju penyebaran virus ini harus ditekan sehingga jumlah orang yang terjangkit dan meninggal berkurang. Ikhtiar membenahi genting yang bocor ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang memiliki sumber daya dan kuasa. Instrumen-instrumen yang dapat digunakan tentu sudah termuat dalam arahan PPKM Level IV, yang kemudian harus diadaptasi sesuai kebutuhan masing-masing daerah.

Masyarakat dan pemerintah harus bergandengan tangan menekan penyebaran COVID-19. Pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas testing, tracing, dan treatment. Sementara masyarakat harus menegakkan protokol kesehatan 5M; memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Dalam melaksanakan perannya, masyarakat dan pemerintah perlu saling mengingatkan sehingga penanganan krisis akibat wabah dapat berjalan dengan baik.


Note: Tulisan yang sama telah dipublikasi di Harian Mercusuar, daring dan luring, dengan sedikit perubahan.

Data Driven Decision Making: Booking a Flight Amid Corona Virus Outbreak

On February 20th, an outbreak of Corona virus began in Italy. It is believed to begin from the region Lombardy. Since then, the number of cases began growing exponentially in northern Italy. As part of European Union, Italy shares a “seamless” border, both by land and by flight, with other European country, including France and Germany. This put the neighboring country into test, whether they can contain the contagion of the virus.

I’m a student living in Toulouse, France. As part of the curriculum, I have to do an internship at the end of my study. Interested in drone, I choose Japan as the country where I will spend 6 months as an intern, starting from the 6th of April. I plan to leave France at the end of March since I have a project presentation on the 26th. However, the Corona virus cases began to spread wildly in France, after the Outbreak in Italy. This occasion put me into uncertainties, will it be fine, for my case, to stay in France until end of March?

Toulouse from Above

If France has a major spike for the Corona virus, I might have to be quarantined when I arrive in another country outside France. The quarantine period may last up to 14 days. Taking this consideration, if I leave France on the 27th of March and take a flight directly to Japan, I won’t be able to start my internship in time. It will be delayed up to the next Monday, 13th of April. Clearly, I should leave as soon as possible, I will apply the visa in Indonesia. But, when should I leave?

I asked my research project supervisor regarding the situation. Amid the outbreak, it will be hard to stay until end of month. I proposed him to have the final presentation online and he agreed. I am thinking of meeting him once more before I leave, so I booked a flight to Indonesia for Tuesday, March 17th.

However, things are not going well. I heard from a friend that India will quarantine anyone coming from Europe, starting from Friday, March 13th. Trump also announced that US imposes a travel ban from the continents. I also read news that Indonesia banned any flight from and to Italy, when the cases hit 9000.

I have to make a calculation, like, literally!

My calculation should give me number when any flight from France, or Europe, will be banned by Indonesian government, assuming they will do the same restriction as for Italy. I take the number of Covid-19 cases from a website, they provide number of total cases as well as new cases, every day. I made a logarithmic regression taking the number of cases as the input and predict the number of cases on 17th of March. It gives me the result as shown below!

Logarithmic Regression of Total Cases (N)

The result is startling! By 17th of March, there will be more than 20 thousand cases in France. However, something does not feel right. The new cases count is about 500 on March 11th but on March 12th it will be 1800. The next day, March 13th, an addition of 1600 new cases will happen. The jump from 500 to 1800 is a wild estimation and decrement to 1600 on the next day does not make sense. Something must be wrong with the model, even the correlation (R2) is high.

I recall the comment section on 3Blue1Brown video, someone mentioned that the “number of cases” does not grow exponentially. It is the “number of new cases” that follows this trend. Therefore, I did remodel considering exponential growth of the “number of new cases” and find the result as follows.

Logarithmic Regression of New Cases (delta N)

The regression result seems reasonable, there’s no unreasonable spike between day to day. Taking this for my flight planning, I have to change reschedule it! March 17th is too late to go back to Indonesia. The latest will be this Saturday, March 14th, as Indonesian government will probably take more prudent consideration, banning the flight when the number hits 5 thousand. Another remark is there is only one direct flight from Europe to Indonesia. If the other countries impose a travel ban, it might be harder to reach Indonesia.


Soon after this calculation, I reschedule my flight for Saturday afternoon. Unfortunately, a night before the flight, the airline canceled all flight for European country. Soon after hearing the news, I booked another flight to Indonesia using Singapore Airline. Gladly, Singapore imposes travel ban starting from 23.59 on March 15th. I can have my flight to Indonesia and apply my visa to Japan when I arrived.


Had I waited for March 17th to go back to Indonesia, the return trip to would be extremely difficult as only limited flights served and the French government has put the country into lock down. Thanks to data driven decision making, I could go back to Indonesia in a less complicated situation.

Moral of the story: in hard times, whenever you want to make a decision, use data! It gives you an estimate of the future, much better than assuming.