Sync: The Emerging Science of Spontaneous Order – Steven Strogatz

Our sense knows that the universe tends toward disorder, which is stated by the Second Law of Thermodynamic. It is stated that all closed systems have a tendency to maximize entropy. But, what if, nature can also synchronize by itself?

Steven Strogatz wrote this book in an elegant way. By reading the book, you have a journey of mathematics ranging from an atomic scale, human body, up to the cosmos. From living being to inanimate object. The formulation is described in a simple way, without taking away the essence of it. As my first popular science book, it is a good hook to keep me reading another similar genre of book.

Sync: The Emerging Science of Spontaneous Order

This book not only let us explore the science of spontaneous order, but reimagining phenomenon around us. Strogatz explained the sudden synchronization of oscillators by contemplating on spontaneous formation of water when it is slightly below the freezing point. He also asked reader to reimagine the linearity of the universe, which might be a non-linear system. We do not live long enough to observe the non-linear behavior. This horizon of time is called “Lypapunov time”.

In this book, the evolution of this science is explored. Starting with a mathematical model proposed by Winfree, his mentor and early scientist of sync, towards the recent researches at that time, modeling it as a “small world” system. This model is proposed by Strogatz and his PhD student, Duncan Watts. He provided a good foundation to understand the latest approach which might be abstract for some. However, he mentioned that today is just the dawn of synchronized system research, more interesting founding and applications of it are coming.

If you are interested in reading a new topic of science, this might be a good book to read. Even though you’re not familiar mathematical model, you don’t have to worry, Strogatz explained everything intuitively.

Kiai Hologram oleh Emha Ainun Nadjib

Kiai Hologram adalah buku Cak Nun kesekian yang saya baca. Saya membaca buku beliau karena tertarik dengan cara beliau memandang suatu peristiwa. Dari buku-bukunya, saya belajar mengambil hikmah.

Seperti buku-buku sebelumnya, beliau menghikmahi kejadian-kejadian di sekitarnya. Kali ini, selain tentang kemasyarakatan, beliau juga sedikit bercerita tentang keluarganya di bagian pertama buku ini. Selain itu, beliau membagikan pemikiran-pemikiran yang dibahas selama acara kenduri cinta, atau maiyah-an.

Ada beberapa kutipan menarik yang saya ambil dari buku ini, termasuk paragraf berikut.

Pribumi itu bukan siapa kita, apa warna kulit kita, apa agama kita. Pribumi itu bukan personalitas, bukan pula identitas. Pribumi itu komitmen kepada rakyat karena kita sendiri adalah rakyat, bukan yang berkuasa atas rakyat.

Hal. 219

Paragraf tersebut saya artikan sebagai sindiran bagi pemimpin yang datang dari kalangan “rakyat”, namun kemudian menjadi “elitis”. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak lagi memihak kepada “rakyat”, sehingga boleh kita mengeluarkan personil tersebut dari himpunan “rakyat”.

Di halaman lain, saya menemukan satu hal berkaitan dengan ketuhanan-keagamaan yang menambah wawasan saya.

Kalau manusia mencari Tuhan, itu namanya rasa keagamaan atau religiositas (berkaitan dengan ibadah muamalah). Kalau Tuhan menginformasikan, menghidayahi, menyuruh, melarang, itu namanya agama atau religion (berkaitan dengan ibadah madhloh). Tanda agama adalah kalau ada ibadah madhloh. Karena kalau ibadah muamalah, meskipun juga baik, ia bukan agama melainkan rasa keagamaan.

Hal. 275

Buku-buku Cak Nun memang mengandung banyak hikmah yang bisa kita pelajari. Namun, sebagai pembaca non-jawa, saya merasa ada beberapa kata dalam bahasa Jawa yang seharusnya dibuatkan pengartiannya dalam bahasa Indonesia. Saya mahfum bahwa tidak semua kata dalam sebuah bahasa dapat dengan mudah diartikan ke bahasa lain, tapi membiarkan pembaca tersesat sedikit mengurangi kedekatan pembaca dengan buku.